Label

Sunni dan Syiah adalah Saudara Kembar



Jumat, 31 Agustus 2012 06:42 WIB

(ANTARA News) – Menteri Agama Suryadharma Ali mendiskusikan soal aliran Islam Sunni dan Syiah bersama Ketua Utama Alkhairaat Habib Saggaf Aljufri di Palu, Jumat sore. Keduanya terlibat diskusi ringan saat Suryadharma Ali berkunjung ke kediaman Habib Saggaf di Jalan Sis Aljufri Palu.

Diskusi itu muncul terkait maraknya pertentangan Islam Sunni-Syiah pascaperistiwa bentrok yang menewaskan seorang warga di Sampang, Madura, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.

Menteri tampak serius mendengarkan sejumlah penjelasan dari Habib Saggaf, sambil menikmati makanan tradisional seperti pisang rebus, ubi rebus, jagung, dan sayuran daun pepaya tumis.

Habib Saggaf mengatakan, sebetulnya Islam Sunni-Syiah itu tidak ada pertentangan antara keduanya. Di Timur Tengah, khususnya di Iran justru pengikut Syiah mayoritas.

“Di sana, Sunni-Syiah berjalan baik. Saling menghormati,” kata Saggaf.

Cucu pendiri perguruan Islam Alkhairaat itu mengatakan, dirinya justru kagum mendengar berita di negara-negara mayoritas Syiah atas industri otomotifnya yang tinggi.

“Dalam setahun mereka bisa memproduksi mobil hingga 1,5 juta unit,” katanya.

Habib Saggaf mengatakan, dirinya beberapa kali menerima kunjungan tokoh-tokoh Syiah di kediamannya. Dia mengatakan dengan senang hati menerima dialog dan berdiskusi dengan para tokoh Syiah tersebut.

“Mereka datang ke saya. Saya setuju kita harus cinta pada `Ahlul Bait`,” katanya.

Namun Habib Saggaf tidak menjelaskan lebih jauh cakupan `Ahlul Bait` yang dimaksud.

Dalam beberapa referensi menyebutkan, pertentangan Sunni dan Syiah terjadi salah satunya atas pemahaman terhadap istilah “ahlul bait” atau keluarga Nabi Muhammad.

Menag Suryadharma Ali kerap menyela di tengah diskusi itu. Dirinya juga setuju bagaimana menumbuhkan kecintaan terhadap Ahlul Bait.

“Hanya saja cintanya harus benar. Tidak mengotori ajaran kecintaan terhadap `Ahlul Bait`,” katanya.

Di akhir perbincangan keduanya, Suryadharma Ali mengatakan, di Indonesia masih banyak masalah yang harus diselesaikan. “Sekarang bagaimana caranya agar kita bisa bersatu,” katanya.

Ia mengatakan, di Indonesia sendiri terdapat perbedaan terhadap aliran Syiah. Bahkan, ada pengamat yang menyebut aliran Syiah sebagai aliran yang keliru.

Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berkunjung ke Palu guna menghadiri hari ulang tahun (Haul) wafatnya pendiri Alkhairaat Habib Sayied Idrus bin Salim Aljufri pada Sabtu (1/9) pagi.

Tradisi peringatan Haul yang dihadiri ribuan orang dari berbagai penjuru nusantara khususnya di kawasan timur Indonesia selama ini dipusatkan di Masjid Alkhairaat, Jalan Sis Aljufri, salah satu pusat kegiatan ke-Islaman terbesar di Sulawesi Tengah.

Pembiaran Pemerintah terhadap opini yang berkembang di tengah masyarakat bahwa mazhab Syi’ah sebagai aliran sesat dan menyesatkan adalah modal utama pemicu konflik dan kekerasan di tingkat akar rumput. Konflik ini harus diselesaikan dengan dialog yang berkesinambungan antara Ahlussunnah dan Syi’ah agar tumbuh saling pengertian dan kasih-sayang antar pemeluk dua mazhab besar dalam Islam ini. Kesan lambat dan tak tegas dalam bersikap menjadikan Negara gagal hadir dalam mengatasi berbagai ancaman konflik horisontal bernuansa sektarian ini. Sunnah-Syi’ah bersaudara dan wajib menjalin Ukhuwah Islamiyah. (*)

Mengenal Tarekat Qadiriyah



Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi QS. Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat ini sudah berkembang sejak abad ke-13. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.

Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Salsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja'far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi, Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.

Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, "Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya."

Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah,dal lain-lain. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah. Sedangkan di Afrika diantaranya terdapat tarekat Ammariyah, Tarekat Bakka'iyah, dan lain sebagainya.

Di Indonesia, pencabangan tarekat Qodiriyah ini secara khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah menjadi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah . Kemudian garis salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani berkembang pesat di seluruh Indonesia.

Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani ini berasal dari Banten dan merupakan ulama Indonesia pertama yang menjadi Imam Masjidil Haram. Selanjutnya jalur salsilahnya berlanjut ke Syaikh Abdullah Mubarok Cibuntu atau lazim dikenal sebagai Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten. Terus berlanjut ke Syaikh Nur Annaum Suryadipraja bin Haji Agus Tajudin yang berkedudukan di Pabuaran Bogor. Selanjutnya garis salsilah ini saat ini berlanjut ke Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin.

Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin selain mempunyai sanad dari tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah juga khirkoh dari tarekat Naqsyabandiyah dari garis salsilah Syaikh Jalaludin. Ia sampai dengan hari ini meneruskan tradisi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah dengan kholaqoh dzikirnya yang bertempat di Bogor Baru kotamadya Bogor propinsi Jawa Barat.(*)

Mengenai Perbincangan Yang Tak Bermanfaat



Oleh Habib Ali al Jufri

Adakalanya engkau menjadi bagian dari orang yang hatinya berjalan di belakang lisannya. Dalam kondisi ini, engkau akan mengatakan segala sesuatu dan dengan bagaimanapun cara engkau mengatakannya, atau ucap asal bunyi. Dan orang semacam ini akan berangkat menuju keterjauhan dari sisi jalan menuju Allah dan mengarah kepada kerugian.

Apakah engkau tergolong bagian dari orang-orang yang apabila disebutkan sesuatu ia harus nimbrung dalam pembicaraan itu, baik itu memiliki faidah ataupun tidak. Atau bila muncul satu perbincangan, ia senang untuk ikut di dalamnya, baik perbincangan itu setelahnya ada faidahnya ataupun perbincangan yang mati.

Tahukah engkau, apakah perbincangan mati itu? Yakni perbincangan yang tidak mendatangkan faidah dan manfaat apapun.

“Tahun ’90-an siapa yang meraih piala ini?”

“Fulan yang meraihnya. Dan Fulan terus yang menang.”

“Kira-kira siapa nanti yang bisa mengalahkannya?”

Tanpa terasa setengah jam hilang begitu saja.

“Mobil terbaru ini itu buatan Inggris atau Amerika?”

“Mobil ini sangat anggun dan mewah. Tidak ada mobil lain lebih mewah darinya!”

Padahal, di akhir waktu, tidaklah yang mengajak berbincang-bincang dan tidak pula lawan bicaranya membeli mobil yang sedari tadi diperbincangkan sepanjang waktu yang dihabiskan.

Andai saja perbincangan itu didasari adanya niatan untuk membeli mobil yang diinginkan, misalnya, dan engkau hendak mencari yang paling baik atau yang lebih kuat, tentu di dalamnya terdapat faidah dan manfaat.

Akan tetapi, perbincangan itu tidak lain hanyalah perbincangan yang panjang lebar dan perdebatan yang tanpa arah. Di saat itu engkau telah kehilangan banyak waktu. Inilah yang para ulama katakan dengan pembicaraan mati (al-kalam al-mayyit). Maknanya, pembicaraan yang tidak memiliki manfaat dan tidak pula dilandasi satu kehendak  tertentu terhadap sesuatu yang diinginkan.

Seseorang datang kepada seorang guru dan ia berkata kepada guru itu, “Wahai Syaikh. Apa warna bulu domba yang Allah jadikan sebagai tebusan bagi Nabi Ismail?”

Warna bulu domba tebusan Nabi Ismail?! Manfaat apa gerangan yang dapat diambil dari pengetahuan semacam ini? Apakah engkau akan memberi cat kepada dombamu dengan warna domba itu, misalkan engkau mengetahui? Lalu buat apa semua itu?

Wahai murid, jangan pernah engkau rela untuk masuk ke dalam suatu perbincangan atau ke dalam suatu pembicaraan yang engkau tidak memiliki kehendak terhadap sesuatu dalam perkaraan yang engkau perbincangkan itu, dan jangan pernah engkau rela untuk masuk ke dalam suatu perbincangan atau ke dalam satu pembicaraan yang di dalamnya tidak terdapat manfaat atau faidah atau pelajaran yang engkau ingin dapatkan dari seseorang.

Itulah sebabnya, bila engkau hendak berbicara, baik tujuanmu itu mengajar atau belajar, sampaikanlah faidah itu atau gapailah ia. Adapun pembicaraan yang di dalamnya engkau tidak mengajarkan dan tidak pula mengambil pelajaran, atau engkau tidak memberikan manfaat dan tidak pula mengambil manfaat, sungguh yang demikian itu tidaklah layak sama sekali bagi seorang salik peniti jalan menuju Allah SWT. Seorang salik tidak memiliki pembicaraan yang tidak berguna dan tidak pula mengandung manfaat (fudhulul kalam).

Setiap kali seseorang bertambah derajatnya, semakin sedikit pula perkataannya. Dan setiap kali perkataan seseorang semakin sedikit tapi menghimpun makna, semakin sedikit pula orang-orang yang mengajak bicara dengannya, yang bila hendak menyampaikan satu makna dalam satu bagian tema tertentu  membutuhkan setengah jam atau lebih.

Perhatikanlah! Rasullah SAW, apabila teman bicaranya meminta beliau untuk mengulangi ucapannya, niscaya beliau mengulanginya lagi. Coba engkau renungkan! Hal penting apa yang terdapat dalam perilaku Rasullah SAW seperti itu.

Rasullah SAW adalah seorang pendidik. Dan seorang yang diutus sebagai pendidik, dai, dan penunjuk jalan hidayah, memiliki sifat, sebagaimana para ulama uraikan dalam berbagai kitab tentang kepribadian beliau, apabila teman bicaranya meminta beliau untuk mengulangi lagi ungkapan yang telah beliau tuturkan dalam majelisnya, niscaya beliau mampu untuk mengulanginya lagi. Setelah itu keluarlah dari kalimat-kalimat yang beliau ulang tadi pengulangan-pengulangan yang darinya lahir ilmu-ilmu agung di tengah-tengah umat menjadi berbagai cabang ilmu-ilmu syari’at. Dan dari sana lahir para dai dari kalangan sahabat, tabi’in, dan generai-generasi setelah mereka.

Cobalah kita muthalaah Bukhari-Muslim atau ambillah kitab Riyadh ash Shalihin, dan bacalah. Niscaya engkau akan mendapati, kebanyakan hadits di dalamnya tidak lebih dari dua, tiga atau empat baris.

Apa makna dari ungkapan ini? Para sahabat mereka adalah para ahli penghapal dan pencatat. Akan tetapi jarang sekali engkau temukan hadits dalam dua lembar atau satu lembar setengah. Bahkan sampai sebagian para huffazh merasa bingung di saat menyebutkan hadits-hadits yang panjang, apakah mesti didhaifkan (dinilai sebagai hadits lemah) atau dishahihkan (dinilai sebagai hadits shahih). Dan sebagian lagi menjadikan sebagian hadits yang panjang dinilai memiliki illat (perkara yang dapat mempengaruhi keshahihan suatu hadits) di saat mereka memberikan penilaian (naqd) terhadap matan hadits tersebut.

Makna penjelasan ini adalah bahwa Rasulullah SAW memberikan pengajaran kepada para sahabat untuk senantiasa memposisikan lidah mereka di belakang hati mereka dan engkau tidak akan mungkin menjadi kecuali satu di antara dua, dan tidak ada ketiganya.

Adakalanya engkau menjadi bagian dari orang yang hatinya berjalan di belakang lisannya. Dalam kondisi ini, engkau akan mengatakan segala sesuatu dan dengan bagaimanapun cara engkau mengatakannya, atau ucapan asal bunyi. Orang yang berbicara semacam ini akan berkata-kata semaunya tanpa ada rem sedikitpun terhadap lisannya. Umumnya, hatinya akan mengekor di belakang lisannya. Dan orang semacam ini akan berangkat menuju keterjauhan dari sisi jalan menuju Allah dan mengarah kepada kerugian.

Atau, adakalanya engkau menjadi bagian dari orang yang memposisikan lisannya di belakang hatinya, orang semacam ini akan senantiasa dituntun oleh hatinya untuk menuju ketinggian derajat di hadapan Allah SWT dan demikian pula dengan lisannya. Keadaan orang seperti ini adalah orang yang senantiasa menimbang-nimbang kalimat sebelum mengucapkannya dan dia pun mengetahui mengapa harus mengucapkannya.

Para ulama menjelaskan bahwa, di antara kejadian-kejadian yang dialami oleh Nabi SAW pada malam Isra dan Mi’raj adalah beliau SAW melihat ada segumpal asap tebal yang keluar dari lubang yang kecil, kemudian asap itu mencoba untuk kembali ke dalam lubang tersebut, namun tak lagi dapat kembali. Nabi SAW pun menanyakan hal itu dan dijawab oleh pemiliknya, lalu ia menyesali telah mengucapkannya dan berharap kalau saja ucapan itu dapat ditarik kembali dan ia tidak mengucapkannya. Namun ia sudah tidak dapat lagi menariknya. (*)

Dakwah Dialogis Sang Teladan Ummat




Ia membentuk sekelompok dai yang dikenal dengan akhlaqnya, keterbukaan pikiran dan keluasan dadanya, serta kesiapannya untuk melakukan dialog secara intensif dan bebas dengan masyarakat Barat.

Penampilan fisiknya mengagumkan: tampan, berkulit putih, tinggi, besar, berjenggot tebal dan rapi tanpa kumis. Wajar jika kehadirannya di suatu majelis selalu menonjol dan menyita perhatian orang.

Tetapi kelebihannya bukan hanya itu. Kalau sudah berbicara di forum, orang akan terkagum-kagum lagi dengan kelebihan-kelebihannya yang lain. Intonasi suaranya membuat orang tak ingin berhenti mengikuti pembicaraannya. Pada saat tertentu, suara dan ungkapan-ungkapannya menyejukkan hati pendengarnya. Tapi pada saat yang lain, suaranya meninggi, menggelegar, bergetar, membuat mereka tertunduk, lalu mengoreksi diri sendiri.

Namun jangan dikira kelebihannya hanya pada penampilan fisik dan kemampuan bicara. Materi yang dibawakannya bukan bahan biasa yang hanya mengandalkan retorika, melainkan penuh dengan pemahaman-pemahaman baru, sarat dengan informasi penting, dan ditopang argumentasi-argumentasi yang kukuh. Wajar, karena ia memang memiliki penguasaan ilmu agama yang mendalam dalam berbagai cabang keilmuan, ditambah pengetahuannya yang tak kalah luas dalam ilmu-ilmu modern, juga kemampuannya menyentuh hati orang, membuat para pendengarnya bukan hanya memperoleh tambahan ilmu dan wawasan, melainkan juga mendapatkan semangat dan tekad yang baru untuk mengoreksi diri dan melakukan perubahan.

Itulah sebagian gambaran Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri, sosok ulama dan dai muda yang nama dan kiprahnya sangat dikenal di berbagai negeri muslim, bahkan juga di dunia Barat.

Ia memang sosok yang istimewa. Pribadinya memancarkan daya tarik yang kuat. Siapa yang duduk dengannya sebentar saja akan tertarik hatinya dan terkesan dengan keadaannya. Bukan hanya kalangan awam, para ulama pun mencintainya. Siapa sesungguhnya tokoh ini dan dari mana ia berasal?

Menimba Ilmu dari para Tokoh Besar

Habib Ali Al-Jufri lahir di kota Jeddah, Arab Saudi, menjelang fajar, pada hari Jum’at 16 April 1971 (20 Shafar 1391 H). Ayahnya adalah Habib Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Alwi Al-Jufri, sedangkan ibundanya Syarifah Marumah binti Hasan bin Alwi binti Hasan bin Alwi bin Ali Al-Jufri.

Di masa kecil, ia mulai menimba ilmu kepada bibi dari ibundanya, seorang alimah dan arifah billah, Hababah Shafiyah binti Alwi bin Hasan Al-Jufri. Wanita shalihah ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam mengarahkannya ke jalur ilmu dan perjalanan menuju Allah.

Setelah itu ia tak henti-hentinya menimba ilmu dari para tokoh besar. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf adalah salah seorang guru utamanya. Kepadanya ia membaca dan mendengarkan pembacaan kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, Tajrid Al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, dan kitab-kitab penting lainnya. Cukup lama Habib Ali belajar kepadanya, sejak usia 10 tahun hingga berusia 21 tahun.

Ia juga berguru kepada Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad, ulama terkemuka dan penulis karya-karya terkenal. Di antara kitab yang dibacanya kepadanya adalah Idhah Asrar `Ulum Al-Muqarrabin. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki juga salah seorang gurunya. Kepadanya ia mempelajari kitab-kitab musthalah hadits, ushul, dan sirah. Sedangkan kepada Habib Hamid bin Alwi bin Thahir Al-Haddad, ia membaca Al-Mukhtashar Al-Lathif dan Bidayah Al-Hidayah.

Ia pun selama lebih dari empat tahun menimba ilmu kepada Habib Abu Bakar Al-`Adni bin Ali Al-Masyhur, dengan membaca dan mendengarkan kitab Sunan Ibnu Majah, Ar-Risalah Al-Jami`ah, Bidayah Al-Hidayah, Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah, Tafsir Al-Jalalain, Tanwir Al-Aghlas, Lathaif Al-Isyarat, Tafsir Ayat Al-Ahkam, dan Tafsir Al-Baghawi.

Pada tahun 1412 H (1991 M) Habib Ali mengikuti kuliah di Fakultas Dirasat Islamiyyah Universitas Shan`a, Yaman, hingga tahun 1414 H (1993 M).

Kemudian ia menetap di Tarim, Hadhramaut. Di sini ia belajar dan juga mendampingi Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz sejak tahun 1993 hingga 2003. Kepadanya, Habib Ali membaca dan menghadiri pembacaan kitab-kitab Shahih Al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, Adab Suluk Al-Murid, Risalah Al-Mu`awanah, Minhaj Al-`Abidin, Al-`Iqd An-Nabawi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, Al-Hikam, dan sebagainya.

Selain kepada mereka, ia pun menimba ilmu kepada para tokoh ulama lainnya, seperti Syaikh Umar bin Husain Al-Khathib, Syaikh Sayyid Mutawalli Asy-Sya`rawi, Syaikh Ismail bin Shadiq Al-Adawi di Al-Jami` Al-Husaini dan di Al-Azhar Asy-Syarif, Mesir, juga Syaikh Muhammad Zakiyuddin Ibrahim. Di samping itu, Habib Ali juga mengambil ijazah dari 300-an orang syaikh dalam berbagai cabang ilmu.   

Dakwah yang Dialogis

Berbekal berbagai ilmu yang diperolehnya, ditambah pengalaman berkat tempaan para gurunya, ia pun mulai menjalankan misi dakwahnya. Aktivitas dakwahnya dimulai pada tahun 1412 H/1991 di kota-kota dan desa-desa di negeri Yaman. Ia kemudian berkelana dari satu negeri ke negeri lain. Perjalanannya ke mancanegara dimulai pada tahun 1414 H/1993 dan terus berlangsung hingga kini.

Berbagai kawasan negara dikunjunginya. Misalnya negara-negara Arab, yakni Uni Emirat Arab, Yordania, Bahrain, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Oman, Qatar, Kuwait, Lebanon, Libya, Mesir, Maroko, Mauritania, Jibouti.

Negara-negara non-Arab di Asia, di antaranya Indonesia, Malaysia, Singapura, India, Bangladesh, Sri Lanka. Di Afrika, di antaranya ia mengunjungi Kenya dan Tanzania. Sedangkan di Eropa, dakwahnya telah merambah Inggris, Jerman, Prancis, Belgia, Belanda, Irlandia, Denmark, Bosnia Herzegovina, dan Turki. Ia pun setidaknya telah empat kali mengadakan perjalanan dakwah ke Amerika Serikat; pertama tahun 1998, kedua tahun 2001, ketiga tahun 2002, dan keempat tahun 2008. Di samping juga mengunjungi Kanada.

Perjalanan dakwahnya ke berbagai negeri membawa kesan tersendiri di hati para jama’ah yang mendengarkan penjelasan dan pesan-pesannya.

Di Jerman, ia membuat jama’ah masjid sebanyak tiga lantai menangis tersedu-sedu mendengar taushiyahnya. Orang-orang yang tinggal di Barat, yang cenderung keras hatinya, ternyata bisa lunak di tangan Habib Ali. Di Amerika ada yang merasa bahwa memandang dan berkumpul bersama Habib Ali Al-Jufri selama satu malam cukup untuk memberinya tenaga dan semangat untuk beribadah selama tiga bulan. Di Inggris ia terlibat pelaksanaan Maulid Nabi di stadion Wembley. Di Denmark ia  mengadakan jumpa pers dengan kalangan media massa.

Di Darul Musthafa, Tarim, Hadhramaut setiap tahun, bulan Rajab-Sya`ban, ia menjadi pembicara rutin Daurah Internasional. Ia pun merangkul para dai muda di Timur Tengah, serta membimbing dan memberikan petunjuk kepada para pemuda yang berbakat. Ia suka duduk bersama para pemuda dan mengadakan dialog terbuka secara bebas.

Dalam berdakwah, ia aktif menjalin hubungan dengan berbagai kalangan masyarakat. Ia memasuki kalangan yang paling bawah, seperti suku-suku di Afrika, hingga kalangan paling atas, seperti keluarga keamiran Abu Dhabi. Ia berhubungan dengan kalangan awam hingga kalangan yang paling alim, seperti Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (mufti de facto negeri Syria), Syaikh Ali Jum`ah (mufti Mesir), dan ulama-ulama besar lainnya.

Banyak sekali bintang film, artis dan aktris, para seniman, di Mesir yang bertaubat di tangannya. Ini mengakibatkan pemerintah Mesir merasa khawatir, kalau hal ini berlangsung terus akan memberikan dampak buruk bagi industri perfilman Mesir, yang merupakan salah satu sumber penghasilan utama setelah pariwisata. Artis yang sebelumnya “terbuka” jadi berhijab, yang dulunya aktor jadi berdakwah.

Kini ia pun secara rutin tampil di televisi. Penyampaian dakwahnya menyentuh akal dan hati. Cara dakwahnya yang sejuk dan simpatik, pandangan-pandangannya yang cerdas dan tajam, pembawaannya yang menarik hati, membuatnya semakin berpengaruh dari waktu ke waktu.

Kemunculan Habib Ali di dunia dakwah membawa angin segar bagi kaum muslimin, terutama kalangan Sunni. Cara dakwahnya berbeda dengan dakwah kalangan yang cenderung keras, kasar, dan kering dari nilai-nilai ruhani, serta cenderung menyerang orang lain, dan banyak menekankan pada model konflik ketimbang harmoni dengan kalangan non-muslim. Bahkan mereka memandang masyarakat muslim sekarang sebagai reinkarnasi dari masyarakat Jahiliyah.

Beberapa waktu lalu koran Denmark kembali menampilkan kartun Nabi. Berbeda dengan reaksi sebagian kalangan muslim yang penuh amarah dan tindak kekerasan di dalam menanggapinya, Habib Ali Jufri dengan kesejukan hatinya serta ketajaman pandangan, pikiran, akal, dan mata bathinnya telah melakukan serangkaian langkah yang bervisi jauh ke depan. Ia berharap, langkah-langkahnya akan berdampak positif bagi kaum muslimin, terutama yang tinggal di negara-negara Barat, serta akan menguntungkan dakwah Islam di masa kini dan akan datang.

Bukannya melihat kasus ini sebagai ancaman dan bahaya terhadap Islam dan muslimin, Habib Ali justru secara cerdas melihat hal ini sebagai peluang dakwah yang besar untuk masuk ke negeri Eropa secara terbuka, untuk menjelaskan secara bebas tentang Rasulullah SAW dan berdialog dengan penduduk serta kalangan pers di sana tentang agama ini dan tentang fenomena muslimin. Singkatnya, ia justru melihat ini sebagai peluang dakwah yang besar.

Tentu saja cara pandang Habib Ali juga disebabkan pemahamannya yang sangat dalam tentang karakter masyarakat Barat. Salah satu karakter terbesar mereka adalah mempunyai rasa ingin tahu yang besar, berpikir rasional, dan memiliki sikap siap mendengarkan. Karakter-karakter umum ini, ditambah sorotan perhatian kepada Rasulullah, merupakan peluang besar untuk memberikan penjelasan. Mereka ingin tahu tentang Nabi SAW, berarti mereka dalam kondisi siap mendengarkan. Mereka rasional, berarti siap untuk mendapatkan penjelasan yang logis.

Apabila kita bisa menjelaskan tentang Nabi SAW dan agama ini kepada mereka dengan cara yang menyentuh akal dan hati mereka, maka kita justru akan bisa mengubah mereka. Dari yang anti menjadi netral, yang netral menjadi pro, yang pro menjadi muslim, yang antipati menjadi simpati, yang keras menjadi lembut, yang marah menjadi dingin, yang acu menjadi penasaran. Sekaligus pula mencegah simpatisan menjadi oposan, pro menjadi anti dan seterusnya.

Karena karakter masyarakat Barat yang terbuka, toleran, lebih bisa menerima keanekaragaman budaya, maka peluang dakwah terbuka bebas. Inilah ranah ideal untuk dakwah Islamiyah. Tentu saja ini bagi para da`i yang berfikiran terbuka, berakal lurus dan tajam, cerdas memahami situasi kondisi, dan memiliki dada yang cukup lapang dalam menerima tanggapan negatif, serta giat melakukan pendekatan yang konstruktif dan positif, serta memiliki akhlak yang mulia. Di sinilah Habib Ali Al-Jufri masuk dengan dakwahnya yang dialogis.

Terjalinnya Silaturahim

Tentu saja untuk berani melakukan dialog dengan pers Barat dibutuhkan kecerdasan dan keluasan berpikir serta pemahaman atas pola berpikir masyarakat Barat. Habib Ali dan para dai ini, selain sangat memahami masyarakat Barat, juga memiliki tim khusus yang melakukan penelitian-penelitian secara ilmiah dan mendetail tentang subyek apa pun yang dibutuhkan.

Ketika melihat berbagai reaksi yang ada atas kasus kartun Nabi, Habib Ali menemukan satu benang merah: semua kelompok dalam masyarakat Islam marah. Kemarahan yang mencerminkan masih adanya sisa-sisa mahabbah kepada Nabi SAW ini bersifat lintas madzhab, lintas thariqah, lintas jama’ah, bahkan lintas aqidah. Habib Ali melihat ini sebagai peluang pula untuk menyatukan visi kaum muslimin dan menyatukan barisan mereka. Kalau kaum muslimin tak bisa bersatu dalam madzhab, thariqah, bahkan aqidah, mereka ternyata bisa disatukan dalam mahabbah dan pembelaan terhadap Nabi SAW.

Langkah Habib Ali tidak berhenti di sini. Ia membentuk sekelompok dai yang dikenal dengan akhlaqnya, keterbukaan pikiran dan keluasan dadanya, serta kesiapannya untuk melakukan dialog secara intensif dan bebas dengan masyarakat Barat. Kemudian ia bersama kelompok dai ini mengadakan safari intensif keliling Eropa bertemu dengan kalangan pers dan berbagai kalangan lainnya untuk memberikan penjelasan.

Habib Ali dan para dai tersebut mengambil momen ini untuk memupuk cinta muslimin kepada Rasulullah, untuk menghidupkan lagi tradisi-tradisi yang lama mati, dan untuk mengajak muslim berakhlaq mulia sebagaimana akhlaq nabinya, sambil mengingatkan kaum muslimin yang berdemo agar menjaga adab dan akhlaq Nabi. Ia juga menyeru kepada kaum muslimin untuk memanfaatkan momen ini dengan menghadiahkan buku-buku tentang Nabi Muhammad kepada para tetangga dan kawan-kawan mereka yang non-muslim, serta untuk membuka topik untuk menjelaskan kepada mereka tentang Rasulullah dan kedudukan beliau di lubuk hati kaum muslimin.

Bukan hanya itu. Ia pun memanfaatkan momen ini untuk menyatukan dai-dai sedunia dalam satu shaf dan mempelopori berdirinya organisasi dai sedunia. Yang menarik, dalam semua tindakan dan langkahnya ini, ia senantiasa menggandeng, berkoordinasi, dan bermusyawarah serta melibatkan para ulama besar dunia, seperti Syaikh Muhammad Sa`id Ramadhan Al-Buthi, Syaikh Ali Jum`ah (mufti Mesir), dan ulama-ulama besar lainnya. Sehingga gerakan ini menjadi gerakan kolektif, milik bersama, bukan milik Habib Ali saja.

Sebagai salah satu dampak dari gerakan ini adalah terjalinnya silaturahim dan tersambungnya komunikasi yang sebelumnya terputus atau kurang intensif di antara para ulama dan dai muslimin karena mereka menjadi giat berkomunikasi lintas madzhab, pemikiran, kecenderungan pribadi, bahkan lintas aqidah.

Gerakan yang dipelopori Habib Ali ternyata mampu mengikat sejumlah besar pemuka Islam dari berbagai latar belakang yang berbeda ke dalam satu shaf lurus yang panjang untuk bersama-sama menanggapi sebuah isu internasional dengan satu suara bulat yang tidak terpecah-pecah. Kita berharap, ini tidak akan berakhir, bahkan justru menjadi sebuah awal dari persatuan ulama dan dai-dai muslimin. (*)