Label

Alawiyyin di Indonesia dan Asia Tenggara



1) Yang terpenting terdapat hingga kini adalah para Sultan Cirebon, keturunan langsung dari Sunan Gunung Jati. Hanya kepada para Alawiyyin (Sayyid) diperkenankan ziarah makam moyangnya. Belanda melarang gelar sultan digunakan.

2) Keluarga para Sultan Banten, keturunan langsung dari seorang putera Sunan Gunung Jati, dibuang oleh Belanda ke Surabaya. Suatu cabang dari keluarga para sultan Banten adalah para Regen Cianjur, kedudukan mana ditetapkan pada tahun 1815.

3) Keturunan Sunan Kali Jogo adalah para Pangeran Kadilangu dekat Demak, sedangkan keturunan Sunan Drajat tinggal di atas tanah milik Drajat, sebesar lebih kurang 9 hektar dekat Sedayu, inilah yang merupakan sisa dari Kerajaan Drajat.

4) Sejarah keluarga BA-SYAIBAN. Pada permulaan abad ke VXIII datang dari Hadramaut ke Cirebon Sayyid Abdurrahman Bin Muhammad, di mana beliau menikah dengan puteri Sultan Cirebon. Kedua puteranya, Sulaiman Bin Abdurrahman memperoleh gelar "Kiahi Mas", semua tinggal di Surabaya dan kemudian di Krapyak (Pekalongan).

Suatu cabang dari keluarga ini menetap di Surabaya. Seorang putera dari Abdurrahman bernama SA’ID, menikah dengan puteri Raden Adipati Danu Rejo, pengurus Kerajaan Jogjakarta. Dari ketiga puteranya, yang tertua Hasyim bergelar "Raden Wongso Rojo", yang kedua Abdullah bergelar hanya "Raden", sedangkan yang ketiga Alwi, kemudian, pada tahun 1813, menjadi Regen Magelang dengan nama dan gelar "RadenTumenggung Danu Ningrat I”. Pada tahun 1820 beliau bergelar "Raden Adipati ".

Keturunan dari Hasyim dan dari Abdullah tinggal di Jogjakarta, dan beberapa dari pada mereka memangku jabatan-jabatan penting pada ke-Sultanan. Pada tahun 1826, Hamdani Bin Alwi yang menggantikan ayahnya sebagai Regen Magelang bergelar "Raden Tumenggung Ario Danu Ningrat II”. Pada tahun 1862 beliau diganti oleh puteranya Sa’id yang bergelar "RadenTumenggung Danu (Kusumo) Ningrat III. Pada tahun 1879 beliau diganti oleh puteranya Sayyid Ahmad Bbin Sa'id yang bergelar RADEN TUMENGGUNG DANU KUSUMO. Sayyid Sa’id bin Hamdani balik dari haji (Mekkah) pada tahun 1881, seorang sayyid dari keturunan para Pangeran Jawa Kuno.

5) Sejarah keluarga pelukis masyhur Raden Saleh namanya yang betul adalah Sayyid Salih Bin Husain Bin Yahya. Neneknya Awadh datang dari Hadramaut ke Jawa pada permulaan abad ke XIX dan menikah dengan puteri Regen Lassem, Kiahi Bostman. Puteranya, Sayyid Husain Bin Awadh tinggal di Pekalongan, di mana beliau menikah dengan puteri Regen Wiradesa. Beliau memperoleh dua putera dengan gelar Sayyid dan Raden. Beliau memperoleh dua putera dengan gelar Sayyid dan dua puteri dengan gelar Syarifah. Putera yang kedua bergelar pula RADEN. Seorang putrinya dinikahkan dengan Patih Galuh.

6) Suatu cabang dari keluarga BIN-YAHYA tiba di Pulau Pinang pada permulaan abad ke XIX juga, dan namanya TAHIR. Beliau menikah dengan seorang puteri dari keluarga Sultan Jogjakarta. Sultan mana dibuang ke Pulau Pinang selama 1812-1816.
 
Sayyid Tahir datang ke Jawa tinggal di Semarang. Puteranya yang ketiga AHMAD RADEN SUMODIRJO yang kemudian tinggal di Pekalongan dan memperisterikan seorang syarifah dari keluarga BA’ABUD. Puteranya Sayyid Salih bergelar RADEN SUMO DI PUTRO. Satu-satu putrinya menikah dengan seorang Seyid dari Hadramaut.

7) Keluarga AL-BA’ ABUD Sayyid Ahmad Bin Muhsin Ba’abud tiba dari Hadramaut di Pekalongan pada permulaan abad ke XIX dan menikah dengan seorang puteri REGEN WIRADESA. Seoang anak cucunya Sayyid Muhsin Bin Husain Bin Ahmad Ba’abud bergelar RADEN SURO ATMOJO. Saudaranya Ahmad bergelar RADEN SURO DI PUTRO. Keluarga JAMAL-AL-LAIL. Di Pariaman (Sumatera Barat) ada suatu cabang dari keluarga JAMAL-AL-LAIL, dan kepada para anggotanya penduduk memberi gelar SIDI.

9) Pada Kerajaan JAMBI, banyak terdapat anggota keturunan BARAQBAH dan AL- JUFRI, begitu pula di Aceh pun dari keturunan JAMAL-AL-LAIL. Yang membawa Islam pertama kali ke Jambi adalah Sayyid Husein Bin Ahmad Baraqbah. Setelah Sayyid Husein mengislamkan kerajaan Sriwijaya (Palembang) dan menjadi menantu Raja sultan Sriwijaya beliau hijrah dan menyebarkan Islam di tanah Jambi sampai beliau wafat dan dimakamkan di Jambi. Seluruh keturunan Baraqbah di Asia Tenggara beliau lah nenek moyangnya.

10) Di Kesultanan Pontianak, banyak sekali terdapat keturunan AL-QODRI, AL-AYDRUS, BA-ABUD, MUTAHHAR, AL HINDUAN, AL-HABSYI, AL-HADDAD, AL- SAQQAF dan lain-lain Alawiyin. Semua ini bersanak saudara dengan keluarga Sultan AL- QODRI. Sayyid-sayyid bergelar Wan. Ringkasan dari Tuan, dan untuk wanita; Wan Ipa ringkasan dari Tuan Syarifah.

11) Keluarga para Sultan Siak dan keluarga penguasa Palalawan adalah semua Alawiyin, begitu pula di Palembang. Keluarga-keluarga para Alawi yang terkemuka di Palembang adalah SYAIKH ABU BAKR, AL-HABSYI, BIN SYIHAB, AL-SAQQAF, BARAQBAH, AL- KAF, AL-MUNAWAR dan AL-JUFRI. Antara mereka ada yang berkeluarga dengan sultan- sultan dahulu. Banyak sekali terjadi percampuran darah antara keluarga-keluarga Alawi (Sayyid) dengan para terkemuka Indonesia, seperti dengan puteri Sultan dari Pulau Bacan. (*)

Saat al Qur'an Menyingkap Rahasia Mesir Kuno



Tulisan singkat ini berkenaan dengan seorang seniman Mesir bernama Haman di mana hanya al Qur’an yang menginformasikannya kepada kita dan kemudian terbukti berkat penggalian arkeologi. Nama “Haman” tidaklah diketahui hingga dipecahkannya huruf hiroglif Mesir di abad ke-19. Ketika hiroglif terpecahkan, diketahui bahwa Haman adalah seorang pembantu dekat Fir’aun, dan “pemimpin pekerja batu pahat”. Hal teramat penting di sini adalah bahwa Haman disebut dalam Al Qur’an sebagai orang yang mengarahkan pendirian bangunan atas perintah Fir’aun. Ini berarti bahwa keterangan yang tidak bisa diketahui oleh siapa pun di masa itu telah diberikan oleh Al Qur’an, satu hal yang paling patut dicermati.

Al Qur’an mengisahkan kehidupan Nabi Musa AS dengan sangat jelas. Tatkala memaparkan perselisihan dengan Fir’aun dan urusannya dengan Bani Israil, Al Qur’an menyingkap berlimpah keterangan tentang Mesir kuno. Pentingnya banyak babak bersejarah ini hanya baru-baru ini menjadi perhatian para pakar dunia. Ketika seseorang memperhatikan babak-babak bersejarah ini dengan pertimbangan, seketika akan menjadi jelas bahwa Al Qur’an, dan sumber pengetahuan yang dikandungnya, telah diwahyukan oleh Allah Yang Mahatahu dikarenakan Al Qur’an bersesuaian langsung dengan seluruh penemuan besar di bidang ilmu pengetahuan, sejarah dan kepurbakalaan di masa kini.

Satu contoh pengetahuan ini dapat ditemukan dalam paparan Al Qur’an tentang Haman: seorang pelaku yang namanya disebut di dalam Al Qur’an, bersama dengan Fir’aun. Ia disebut di enam tempat berbeda dalam Al Qur’an, di mana Al Qur’an memberitahu kita bahwa ia adalah salah satu dari sekutu terdekat Fir’aun.

Anehnya, nama “Haman” tidak pernah disebutkan dalam bagian-bagian Taurat yang berkaitan dengan kehidupan Nabi Musa AS. Tetapi, penyebutan Haman dapat ditemukan di bab-bab terakhir Perjanjian Lama sebagai pembantu raja Babilonia yang melakukan banyak kekejaman terhadap Bani Israil kira-kira 1.100 tahun setelah Nabi Musa AS. Al Qur’an, yang jauh lebih bersesuaian dengan penemuan-penemuan kepurbakalaan masa kini, benar-benar memuat kata “Haman” yang merujuk pada masa hidup Nabi Musa AS.

Tuduhan-tuduhan yang dilontarkan terhadap Kitab Suci Islam oleh sejumlah kalangan di luar Muslim terbantahkan tatkala naskah hiroglif dipecahkan, sekitar 200 tahun silam, dan nama “Haman” ditemukan di naskah-naskah kuno itu. Hingga abad ke-18, tulisan dan prasasti Mesir kuno tidak dapat dipahami. Bahasa Mesir kuno tersusun atas lambang-lambang dan bukan kata-kata, yakni berupa hiroglifik. Gambar-gambar hiroglif ini, yang memaparkan kisah dan membukukan catatan peristiwa-peristiwa penting sebagaimana kegunaan kata di zaman modern, biasanya diukir pada batu dan banyak contoh masih terawetkan berabad-abad. Dengan tersebarnya agama Nasrani dan pengaruh budaya lainnya di abad ke-2 dan ke-3, Mesir meninggalkan kepercayaan kunonya beserta tulisan hiroglif yang berkaitan erat dengan tatanan kepercayaan yang kini telah mati itu. Contoh terakhir penggunaan tulisan hiroglif yang diketahui adalah sebuah prasasti dari tahun 394. Bahasa gambar dan lambang telah terlupakan, menyisakan tak seorang pun yang dapat membaca dan memahaminya. Sudah tentu hal ini menjadikan pengkajian sejarah dan kepurbakalaan nyaris mustahil. Keadaan ini tidak berubah hingga sekitar 2 abad silam.

Pada tahun 1799, kegembiraan besar terjadi di kalangan sejarawan dan pakar lainnya, rahasia hiroglif Mesir kuno terpecahkan melalui penemuan sebuah prasasti yang disebut “Batu Rosetta.” Penemuan mengejutkan ini berasal dari tahun 196 SM. Nilai penting prasasti ini adalah ditulisnya prasasti tersebut dalam tiga bentuk tulisan: hiroglif, demotik (bentuk sederhana tulisan tangan bersambung Mesir kuno) dan Yunani. Dengan bantuan naskah Yunani, tulisan Mesir kuno diterjemahkan. Penerjemahan prasasti ini diselesaikan oleh orang Prancis bernama Jean-Françoise Champollion. Dengan demikian, sebuah bahasa yang telah terlupakan dan aneka peristiwa yang dikisahkannya terungkap. Dengan cara ini, banyak pengetahuan tentang peradaban, agama dan kehidupan masyarakat Mesir kuno menjadi tersedia bagi umat manusia dan hal ini membuka jalan kepada pengetahuan yang lebih banyak tentang babak penting dalam sejarah umat manusia ini.

Melalui penerjemahan hiroglif, sebuah pengetahuan penting tersingkap: nama “Haman” benar-benar disebut dalam prasasti-prasasti Mesir. Nama ini tercantum pada sebuah tugu di Museum Hof di Wina. Tulisan yang sama ini juga menyebutkan hubungan dekat antara Haman dan Fir’aun. [1] Dalam kamus People in the New Kingdom , yang disusun berdasarkan keseluruhan kumpulan prasasti tersebut, Haman disebut sebagai “pemimpin para pekerja batu pahat”. [2]

Temuan ini mengungkap kebenaran sangat penting: Berbeda dengan pernyataan keliru para penentang Al Qur’an, Haman adalah seseorang yang hidup di Mesir pada zaman Nabi Musa AS. Ia dekat dengan Fir’aun dan terlibat dalam pekerjaan membuat bangunan, persis sebagaimana dipaparkan dalam Al Qur’an.  

Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”. (QS. Al Qashas, 28:38)

Ayat dalam Al Qur’an tersebut yang mengisahkan peristiwa di mana Fir’aun meminta Haman mendirikan menara bersesuaian sempurna dengan penemuan purbakala ini. Melalui penemuan luar biasa ini, sanggahan-sanggahan tak beralasan dari para penentang Al Qur’an terbukti keliru dan tidak bernilai intelektual. Secara menakjubkan, Al Qur’an menyampaikan kepada kita pengetahuan sejarah yang tak mungkin dimiliki atau diketahui di masa Nabi Muhammad SAW. Hiroglif tidak mampu dipecahkan hingga akhir tahun 1700-an sehingga pengetahuan tersebut tidak dapat dipastikan kebenarannya di masa itu dari sumber-sumber Mesir. Ketika nama “Haman” ditemukan dalam prasasti-prasasti kuno tersebut, ini menjadi bukti lagi bagi kebenaran mutlak Firman Allah.

Catatan:

[1] Walter Wreszinski, Aegyptische Inschriften aus dem K.K. Hof Museum in Wien, 1906, J.  C. Hinrichs’ sche Buchhandlung
[2] Hermann Ranke, Die Ägyptischen Personennamen, Verzeichnis der Namen, Verlag Von J. J. Augustin in Glückstadt, Band I, 1935, Band II, 1952 


Kalender


(Foto by Natsumi Hayashi)

Pada warna-warna tua yang luruh dan pudar,
lembar-lembar tahun kembali terpampang.
Januari datang padamu, meninggalkan hari-hari
yang menyulam sepi, sebelum desau samar jadi bosan.

Tapi aku hanya ingin kembali singgah sebentar
pada nasib yang melambaikan tangan.
Seperti kereta malam pertama
yang akan datang menuju rumahmu.

Aku hanya ingin singgah sebentar
pada selarik hujan, menulis sajak yang akan kaunyanyikan,
merenungi setiang lampu temaram, di mana tanggal-tanggal pun lepas
dan kau rindu saat-saat yang tak lagi kelam.

(2010,
Sulaiman Djaya) 


Tafakkur


Angka-angka sebenarnya, tak mengatakan apa-apa. Berapa kali sesungguhnya aku bisa menghitung apa yang setiap hari menjelma debu atau kuncup. Lebih nyata dari buku-buku yang kubaca adalah waktu, gerak dan kebisuan yang menyamar. Ini September yang sama ketika aku belajar membuka mata. Pada akhirnya, kepada daun-daun aku berguru bagaimana tumbuh dan gugur.  

(2010, Sulaiman Djaya)